BAB I
PENDAHULUAN
Sediaan Parenteral
Sediaan parenteral adalah sediaan obat steril, dapat berupa larutan atau suspensi yang dikemas sedemkian rupa sehingga cocok untuk diberikan dalam bentuk injeksi hypodermis dengan pembawa atau zat pensuspensi yang cocok.
Sediaan parenteral volume kecil diartikan sebagai obat steril yang dikemas dalam wadah dengan ukuran di bawah 100 ml. Untuk mendapatkan formula sediaan parenteral yang baik harus mempunyai data praformulasi yang meliputi sifat kimia, sifat fisika dan sifat biologis sehingga didapatkan :
1. Pembawa yang tepat, yaitu pembawa larut air, pembawa yang tidak larut air atau pelarut campur.
2. Zat penambah yang diperlukan, meliputi zat anti mikroba (pengawet), komplekson, zat pengisotoni, anti oksidan, dapar dan sebagainya.
3. Wadah dan jenis wadah yang sesuai.
4. Tersatukan tanpa terjadi reaksi
5. Isotoni dan isohidri
6. Bebas pirogen dan bebas partikel melayang
Pengertian Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral, disuntikan dengan cara menembus atau merobek jaringan ke dalam atau melalui kulit atau selaput lendir.
Komponen Larutan Injeksi
1. Zat aktif
o Memenuhi syarat yang tercantum sesuai monografinya masing-masing dalam farmakope.
o Pada etiket tercantum p.i (pro injection)
2. Zat pembawa / zat pelarut
Dibedakan menjadi 2 bagian:
o Zat pembawa berair
Umumnya digunakan aqua pro injeksi. Selain itu dapat digunakan NaCl pro injeksi, glukosa pro injeksi, dan NaCl compositus pro injeksi.
o Zat pembawa bukan air
Umumnya digunakan minyak untuk injeksi misalnya oleum sesami, oleum olivarum, oleum arachidis, pelarut campur (alkohol, propilenglikol, gliserin, polietilenglikol).
3. Zat tambahan
Ditambahkan pada pembuatan injeksi dengan maksud:
o Bahan penambah kelarutan obat
Untuk menaikkan kelarutan obat digunakan :
- Pelarut organik yang dapat campur dengan air seperti etanol, propilenglikol, gliserin.
- Surface active agent (s.a.a) terutama yang nonionik.
- Etilendiamin untuk menambah kelarutan teofilin.
- Dietilamin untuk menambah kelarbarbital.
- Niasinamid dan Salisilas Natricus menambah kelarutan vit B2.
- Kreatinin, niasinamid dan lecitine digunakan untuk menambah kelarutan steroid.
o Buffer / pendapar
Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan asam, basa, dan dapar. Penambahan larutan dapar hanya dilakukan untuk larutan obat suntik dengan pH 5,5-9. Pada pH >9, jaringan mengalami nekrosis, pada pH<3, jaringan akan mengalami rasa sakit, phlebitis, dan dapat menghancurkan jaringan. Pada pH<3 atau pH>11 sebaiknya tidak di dapar karena sulit dinetralisasikan, terutama ditujukan untuk injeksi i.m. dan s.c.
Fungsi larutan dapar dalam obat suntik adalah :
- Meningkatkan stabilitas obat, misalnya injeksi vitamin C dan injeksi luminal.
- Mengurangi rasa nyeri dan iritasi.
- Meningkatkan aktivitas fisiologis obat.
Umumnya digunakan larutan dapar fosfat, laritan dapar boraks, dan larutan dapar lain yang berkapasitas dapar rendah.
o Untuk mendapatkan larutan yang isotonis.
Bahan pembantu mengatur tonisitas adalah NaCl, glukosa, sukrosa, KNO3, dan NaNO3.
o Antioksidan
- Asam ascorbic 0,1%
- BHA 0,02%
- BHT 0,02%
- Natrium Bisulfit 0,15%
- Natrium Metabisulfit 0,2%
- Tokoferol 0,5%
- Zat pengkhelat seperti Na-EDTA 0,01-0,075% yang akan membentuk kompleks dengan logam berat yang merupakan katalisator oksidasi.
o Bahan Pengawet (preservatives)
- Benzalkonium chloride 0,05%-0,1%
- Benzyl alkohol 2%
- Chlorobutanol 0,5%
- Chlorocresol 0,1-0,3%
- Fenil merkutik nitrat dan asetat 0,002%
- Fenol 0,5%
o Gas inert seperti nitrogen dan karbondioksida sering digunakan untuk meningkatkan kestabilan produk dengan mencegah reaksi kimia antara oksigen dalam udara dengan obat .
.
Sterilisasi
1. Cara sterilisasi akhir
Cara ini merupakan cara sterilisasi umum dan paling banyak digunkan dalam pembuatan sediaan steril. Zat aktif harus stabil dengan adanya molekul air dan suhu sterilisasi. Dengan cara ini sediaan disterilkan pada tahap terakhir pembuatan sediaan. Semua alat setelah lubang-lubangnya ditutup kertas perkamen, dapat langsung digunakan tanpa perlu disterilkan lebih dahulu.
2. Cara aseptis
Cara ini terbatas penggunaanya pada sedian yang mengandung zat aktif peka suhu tinggi dan dapat mengakibatkan penguraian dan penurunan kerja farmakologisnya. Antibiotika dan beberapa hormon tertentu merupakan zat aktif yang sebaiknya diracik secara aseptis. Cara aseptis bukanlah suatu cara sterilisasi melainkan suatu cara kerja untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan.
3. Sterilisasi panas dengan tekanan atau Sterilisasi uap (autoklaf)
Dengan memaparkan uap jenuh pada tekanan tertentu selama waktu dan suhu tertentu pada suatu objek, sehingga terjadi pelepasan energi laten uap yang mengakibatkan pembunuhan mikroorganisme secara irreversible akibat denaturasi atau koagulasi protein sel. Sterilisasi ini dilakukan dengan suhu 121°C selama 30 menit. Autoklaf digunakan untuk mensterilkan alat-alat persisi seperti gelas ukur, pipet, corong beserta kertas saring, spuit.
4. Sterilisasi panas kering (oven)
Terjadi melalui mekanisme konduksi panas. Panas akan diabsorpsi oleh permukaan alat yang disterikan lalu merambat kebagian dalam permukaan sampai akhirnya suhu untuk sterilisasi tercapai. Udara panas oven akan mematikan jasad renik meluli mekanisme dehidrasi-oksidasi terhadap mikroorganisme. Sterilisasi ini dilakukan dengan suhu 170°C selama 30 menit. Digunakan untuk mensterilkan alat-alat gelas non-persisi seperti beaker glass, elenmeyer, kaca arloji, cawan penguap, pinset logam, batang pengaduk.
Pengujian atau Evaluasi Obat Suntik
Parameter yang dievaluasi untuk uji kestabilan sediaan parenteral meliputi:
o Potensi/kadar
Evaluasi dilakukan dengan bantuan alat seperti HPLC, spektrometri massa, spektrometri UV, sinar X, sinar tampak, inframerah dan lain lain. Dosis yang ada tidak boleh kurang dari 90% dari yang tertera dalam label.
o pH
Perubahan pH dalam sediaan parenteral dapat menjadi indikasi bahwa telah terjadi penguraian obat atau telah terjadi interaksi antara obat dengan wadah (gelas, plasatik, atau tutup karet).
o Warna
Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang disimpan pada suhu tinggi (> 40oC), karena suhu tinggi dapat mempercepat terjadinya penguraian. Pencegahan umumnya dengan menghilangkan oksigen di atas permukaan larutan atau penambahan komplekson.
o Kekeruhan
Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat menyerap atau memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat melewatkan 92-97% pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi 70% setelah 3-5 tahun. Ada tiga penyebab terjadinya kekeruhan sediaan parenteral, yaitu benda asing, terjadinya endapan dan pertumbuhan mikroorganisme.
o Bau
Pemerikasaan kemungkinan terjadinya bau harus dilakukan secara periodic, terutama larutan yang mengandung sulfur atau anti oksidan.
o Benda asing
Sediaan parenteral tidak boleh mengandung benda asing dengan diameter >10 m.
o Toksisitas
Lakukan uji LD50 atau LD0 pada sediaan parenteral selama penyimpanan.
o Wadah
Evaluasi wadah (gelas, plastik, atau tutup karet) dilakukan secara periodik untuk mengetahui pengaruhnya pada zat aktif.
o Pengawet
Pada sediaan yang disimpan pada suhu 50C dan 250C dievaluasi keefektifan pengawet apakah masih efektif atau sudah berkurang.
BAB II
PRAFORMULASI
A. Tinjauan Pustaka Zat Aktif dan Zat Tambahan
Bahan Aktif : Thiamin HCl / Vitamin B1
Sifat Kimia
Nama Lain : Vitamin B1
Rumus Molekul : C12H17ClN4OS,HCl
Berat Molekul : 337,27
Sifat Fisika
a. Organoleptis
Bentuk : Serbuk Hablur atau Hablur kecil
Bau : Khas lemah mirip ragi
Warna : Putih
Rasa : Pahit
Kelarutan
Mudah Larut dalam air, larut dalam air panas, Sukar larut dalam etanol (95 %), Praktis tidak larut dalm eter dan dalam benzene, Larut dalam gliserol
b. Titik lebur : 248 o C
c. Kestabilan : Thiamin HCl untuk injeksi harus dilindungi oleh cahaya dan disimpan pada suhu kurang dari 40 ºC dan lebih disukai antara 15-30 ºC menghindari pembekuan.
d. pH : 2,5 – 4,5
Sifat Farmakologi dan Farmakokinetik
a. Khasiat
Antineuretikum dan komponen vitamin B kompleks
b. Efek Samping
Memberikan efek toksik bila diberikan per oral, bila terjadi kelebihan thiamin cepat dieksresi melalui urin. Meskipun jarang terjadi reaksi anafilaktoid dapat terjadi setelah pemberian IV dosis besar pada pasien yang sensitive dan beberapa diantaranya bersifat fatal
Reaksi hipersensitivitas terjadi setelah menyuntik agen ini. Beberapa kelembutan atau nyeri otot dapat mengakibatkan setelah injeksi IM.
c. Tempat absorpsi
Tiamin yang diserap dari saluran pencernaan dan dimetabolisme oleh hati. Eliminasi adalah ginjal, mayoritas yang metabolit dan didistribusikan secara luas keseluruh bagian tubuh
d. Interaksi obat
Bila dicampurkan dengan sodium sulfit, potassium metabisulfit dan sodium hidrosulfit dapat menurunkan kestabilan thiamin HCl di dalam larutan.
Tiamin HCl tidak stabil dalam larutan basa atau netral atau dengan agen oksidasi atau mengurangi. Hal ini paling stabil pada pH 2.
e. OTT
dengan riboflavin dalam larutan jejak prespitation dari thiocrom atau chloroflafin terjadi dengan benzilpenicillin
kompatibel dengan suntikan dekstrosa atau adictive containning metabisulfit
Wadah dan Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, tak tembus cahaya.
Dosis
Dosis Lazim DEWASA (1XHP) : 10 mg – 100 mg
Cara penggunaan : IV dan Oral
Cara sterilisasi : Sterilisasi A ( autoklaf ) dan C ( Filtrasi )
Sebagai Pelarut : Aqua pro injection bebas O2 (API)
• Pemerian : Berupa larutan, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa
• Cara Pembuatan : Air aquadest didihkan di dalam elenmeyer tertutup
selama 40 menit terhitung sejak mulai mendidih,
kemudian ditambahkan atau dialirkan gas inert
seperti karbondioksida.
B. Rancangan Praformulasi
Akan dibuat sediaan injeksi vitamin B1 yang mengandung 75 mg/ml dengan volume 1 ml per ampul. Pembuatan 1 batch sebanyak 2 ampul. Metode pembuatan yang direncanakan adalah dengan cara aseptis. Dengan bahan tambahan yang terdiri atas :
1. PH adjuster : Larutan HCl
2. Pelarut : Aqua pro injection bebas O2
Injeksi Vitamin B1 no. II
da in amp 1 ml
Daftar Obat Jenis Obat Dosis Lazim Kelarutan pH Jenis Sterilisasi Khasiat
Vitamin B1
(Thiamin HCl)
Anak 1xhp 200 mg- 300 mg, dibagi dalam 3 -4 dosis
Dewasa 1xhp 10 mg- 100 mg. 1 : 3-3,5 bagian air FI III : 5,5 -7,0
Martindale : 6 - 6,5
Fornas : 5- 6,5 Aseptis antiskorbut
C. Rangkuman Hasil Pengkajian Praformulasi
BAHAN AKTIF : Thiamin HCl DOSIS LAZIM
(Vitamin B1) Dewasa (1XHP) : 10 – 100mg
TABEL I
No. Masalah Alternatif / Pemecahan Rekomendasi Keputusan Alasan
1.
Bentuk sediaan steril yang digunakan secara parenteral ada beberapa macam.
Dibuat bentuk sediaan yang sesuai dengan sifat zat aktif
- Injeksi
- Infus
Injeksi
Merupakan sediaan dalam volume kecil yang digunakan untuk satu kali pakai (dosis tunggal)
2. Zat aktif larut air Dipakai sediaan steril • SPVK
• SPVB SPVK Dibuat sediaan injeksi dosis tunggal
3.
Zat aktif yang digunakan mudah teroksidasi oleh cahaya
Digunakan wadah ampul yang dapat melindungi zat aktif (sediaan) dari cahaya
- Ampul bening
- Ampul gelap
Ampul gelap
Karena cahaya tidak langsung tembus ke dalam sediaan sehingga tetap stabil selama penyimpanan
4.
Rute pemberian secara injeksi ada bermacam-macam
Dipilih rute pemberian yang sesuai dengan zat aktif
- Intramuskular
- Intravena
- Subkutan
Intramuskular
karena dapat mengurangi iritasi dan nyeri pada saat penyuntikan
5.
Zat aktif tidak tahan terhadap pemanasan
Dipilih jenis sterilisasi yang sesuai
- Aseptis
- Sterilisasi akhir
Aseptis
memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan
6.
Penandaan berdasarkan golongan obat bermacam-macam
Diberi penandaan golongan obat yang sesuai.
Merah
Biru
Hijau
Merah
Sediaan injeksi tidak dapat digunakan sendiri dan harus dibantu oleh tim medis
BAB III
FORMULASI
FORMULASI
R / Thiamin HCl 75mg
API ad 2ml
DATA ZAT AKTIF
Daftar obat Dosis Lazim Kelarutan pH Jenis sterilisasi khasiat
Thiamin HCl Dewasa (1XHP) : 1 – 2 mg/kg BB Mudah Larut dalam air, larut dalam air panas, Sukar larut dalam etanol (95 %), Praktis tidak larut dalm eter dan dalam benzene, Larut dalam gliserol
2,7 – 3,4 Aseptis Antineuretikum dan komponen vitamin B kompleks
TABEL II
SPESIFIKASI DAN SYARAT SEDIAAN YANG DIINGINKAN
NO. Nama Produk Injecthiam
Bentuk sediaan Injeksi
Bahan Aktif Thiamin HCl
Kemasan Vial 2 ml
Pemeriksaan SPESIFIKASI SYARAT
Warna Tidak berwarna
Tidak berwarna
FORMULASI STANDAR DARI FORNAS
R/ Tiap ml mengandung :
Thiamin HCl 75mg
API ad. 2 ml
Penyimpanan dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda, terlindung dari cahaya
Dosis : IM sehari 1 mg – 2 mg/kg BB
Cat : 1. pH 2,5 – 4,5
2. Pada pembuatan dialiri karbondioksida
3. Disterilkan dengan cara A/C segera didinginkan
Alat-alat yang digunakan :
Nama Alat Jumlah Cara Sterilisasi Waktu
Kaca arloji 1 Oven 170oC 30 menit
Erlenmeyer 1 Oven 170oC 30 menit
Beacker glass 1 Oven 170oC 30 menit
Pinset 1 Oven 170oC 30 menit
Corong 1 Oven 170oC 30 menit
Batang pengaduk 1 Oven 170oC 30 menit
Ampul 3 Oven 170oC 30 menit
Pipet 1 Autoklaf (115 - 116oC) 30 menit
Gelas ukur 2 Autoklaf (115 - 116oC) 30 menit
Spuit 1 Autoklaf (115 - 116oC) 30 menit
Formulasi Akhir
R/ Thiamin HCl 75mg
HCl adjust 2 tts
Aqua p.i ad. 2 ml
Pengkajian Formulasi
Volume yang dibuat = (n + 2) V’ + (2 x 3)
= (3+ 2) 2,2 + 6 ml
= 17 ml
NaCl yang digunakan
Thiamin : 0,075 gr x 0,25 = 0,1875
NaCl 0,9% : 0,9/100 x 2 ml = 1,8
Jadi, NaCl tidak ditambahkan karena sedian telah hipertonis
Perhitungan bahan
Thiamin : 75 mg x 2 = 150 mg
API : 17 ml / 3 ampul
Langkah Kerja
A. Pembuatan Aqua pro Injeksi
Panaskan aqua destilata dalam Erlenmeyer sampai air mendidih. Setelah air mendidih, kemudian dipanaskan lagi selama 30 menit.
API bebas O2 dilakukan dengan pemanasan aqua destilata selama 30 menit terhitung sejak mendidih, kemudian dialiri gas nitrogen. Dan ditambah pemanasan selama 10 menit
B. Pembuatan sediaan
1. Melakukan sterilisasi peralatan yang akan digunakan sesuai dengan prosedur.
2. Menyiapakan API bebas O2 sebanyak 25 ml
3. Menimbang vitamin B1 dengan kaca arloji, kemudian dimasukkan ke dalam beacker glass, zat aktif dilarutkan dengan API bebas O2 sebanyak 10 ml, kemudian bilas kaca arloji dengan beberapa tetes API bebas O2.
4. Ad-kan dengan API bebas O2 sampai tepat 17 ml.
5. Tuangkan sedikit API bebas O2 untuk membasahi kertas saring, yang akan digunakan untuk menyaring.
6. Menyaring larutan ke dalam Erlenmeyer bersih dan kering.
7. Mengisikan larutan zat ke dalam ampul (dengan spuit) sebanyak 2,2 ml.
8. Memberi etiket pada ampul.
Evaluasi Sediaan
1. Penampilan
Larutan berwarna bening, homogen, serta tidak ada partikel yang melayang.
2. Kadar pH
Thiamin HCl dalam larutan sangat stabil pada pH 2,5-4,5. Pengujian dilakukan dengan menggunakan kertas indicator universal didapatkan pH = 3,5.
pH yang di dapat sesuai dengan yang diinginkan karena masuk ke dalam range antara pH 2,5 – 4,5.
3. Kebocoran
Sediaan yang dihasilkan tidak dilakukan pengujian kebocoran karena ampul tidak ditutup.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, kami melakukan praktikum pembuatan sediaan steril berupa sediaan injeksi dengan bahan aktif yaitu vitamin B1 yang dibuat secara aseptis. Tujuan suatu sediaan dibuat steril, karena berhubungan langsung dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain yang pertahanannya terhadap zat asing tidak selengkap pada saluran cerna atau gastrointestinal. Diharapkan dengan kondisi steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak berlaku relative steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril. Dan obat injeksi merupakan sediaan yang perlu disterilkan.
Sediaan injeksi memiliki keuntungan dan kelemahan, antara lain :
Keuntungan:
1. Memiliki onset (mula kerja) yang cepat.
2. Dapat digunakan untuk obat yang rusak jika terkena cairan lambung, merangsang jika masuk ke cairan lambung, atau tidak diabsorpsi baik oleh cairan lambung.
3. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
4. Bioavaibilitas sempurna atau hampir sempurna.
5. Dapat diberikan kepada penderita yang sakit keras atau yang dalam keadaan koma.
Kerugian:
1. Rasa nyeri pada saat disuntik, apalagi kalau harus diberikan berulangkali.
2. Memberikan efek psikologis pada penderita yang takut disuntik.
3. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukar dilakukan pencegahan/diperbaiki, terutama sesudah pemberian intravena.
4. Cara pemberian lebih sukar, harus memakai keahlian khusus (dokter, perawat).
5. Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan.
6. Secara ekonomis lebih mahal dibandingkan dengan sediaan yang digunakan per oral.
Sifat vitamin B1 yang tidak tahan terhadap pemanasan dan mudah teroksidasi oleh cahaya dan oksigen merupakan alasan di gunakannya metode sterilisasi secara aseptis dalam pembuatan injeksi vitamin B1. Sterilisasi sediaan injeksi vitamin B1 dilakukan secara aseptis, karena vitamin B1 stabil pada suhu pemanasan 98-100oC, sehingga dikhawatirkan masih ada mikroba di dalam sediaan tersebut. Cara ini terbatas penggunaanya pada sedian yang mengandung zat aktif peka suhu tinggi dan dapat mengakibatkan penguraian dan penurunan kerja farmakologisnya. Cara aseptis bukanlah suatu cara sterilisasi melainkan suatu cara kerja untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan. Sehingga semua peralatan yang akan digunakan harus disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan sesuai dengan prosedur. Dalam pembuatan injeksi vitamin B1 dengan tanpa menggunakan zat tambahan, hanta dilarutkan dengan Aqua pro Injection bebas O2.
Pada praktikum ini kami melakukan kesalahan karena kami kurang teliti dalam mencari informasi tentang sterilisasi zat yang kami gunakan sehingga kami tidak melakukan sterilisasi karena padahal awalnya kami mengira bahwa thiamin dapat tahan panas sehingga sterilnya digunakan adalah sterilisasi akhir, tetepi setelah sediaan jadi dan siap untuk disterilkan kami melihat salah satu referensi bahwa thiamin tidak tahan terhadap pemanasan dan sterilisasi yang cocok adalah sterilisasi penyaringan atau aseptis.
Prosedur kerja yang kami gunakan yaitu dengan cara 25ml larutan API yang kami siapkan 10 ml kami dari larutan api tersebut kami gunakan untuk melarutkan thiamin kemudian setelah larut sempurna kemudian kami menambahkan kembali sampai volume mencapai 17 ml.
Vitamin B1 mudah teroksidasi oleh cahaya dan oksigen, maka digunakan wadah berupa ampul yang gelap. Tetapi Ampul yang tersedia di laboratorium steril hanya ampul bening, sehingga digunakan ampul bening (di dispensasi).
Thiamin HCl dalam larutan sangat stabil pada pH 2,5-4,5. pH yang didapat yaitu 3,5 yang masuk kedalam range pH seharusnya, yaitu 2,5-4,5.
Setelah larutan di ad kan maka dapat langsung dipindahkan dari dalam elenmeyer ke dalam ampul dengan menggunakan jarum spuit, dengan melebihkan sedikit volumenya dari yang tertera pada etiket yaitu 1 ml sehingga menjadi 1,1 ml /per ampul. Volume ampul yang dimasukkan seharusnya adalah 2 ml karena ampul yang tersedia hanya 1 ml maka kami mendapat dispensasi untuk volume walapun dosisnya yang terdapat pada ampul tidak sesuai dengan formula awal yang kami buat tetapi dosis yang terkandung masih dapat memberikan efek terapi karena masih dalam range yaitu 10 mg- 100 mg yaitu 37,5mg/ampul.
Pada sediaan parenteral tonisitas harus diperhatikan karena larutan yang dibuat harus isotonis sehingga tidak akan mengalami kerusakan jaringan dan iritasi serta mencegah hemolisa. Jika larutan sediaan yag dibuat sedikit hipertonis maka larutan sediaan tersebut masih diperbolehkan tetapi jika sediaan hipotonis maka sediaan tersebut tidak diperbolehkan karena akan menyebabakan pecahnya pembuluh darah bahkan dapat menyebabkan kematian. Sedangkan sediaan yang kami buat telah hipertonis. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan yang kami hitung sediaan yang kami buat telah melampaui kadar tonisitas yang seharusnya yaitu kadar tonisitas seharusnya 0,018 tetapi sediaan yang kami buat kadarnya 0,01875 sehingga kami tidak perlu lagi menambahkan NaCl dan sediaan tersebut masih diperbolehkan digunakan karena hanya kelebihan 0,00075.
Sebelum penutupan ampul, seharusnya dialirkan gas inert seperti karbondioksida atau nitrogen ke atas permukaan. Ini dimaksudkan untuk mencegah interaksi asam askorbat dengan oksigen yang dapat menimbulkan reaksi oksidasi. Tetapi ini tidak dilakukan karena ketidak tersedianya bahan. Penutupan ampul pada sediaan ini tidak dilakukan karena bunsen yang ada di laboratorium rusak. Oleh karena itu, diberikan dispensasi pada dua perlakuan ini.
Kemudian kami melakukan evaluasi terhadap sediaan injeksi vitamin Thiamin (Vit B1) yang diperoleh dan di dapatkan data sebagai berikut :
1. Penampilan
Larutan berwarna bening, homogen, karena tidak ada partikel yang melayang.
2. Kadar pH
Vitamin B1 dalam larutan sangat stabil pada pH 2,5-4,5. Pengujian dilakukan dengan menggunakan kertas indicator universal didapatkan pH = 3,5.
pH yang di dapat sesuai dengan yang diinginkan karena masuk ke dalam range antara pH 2,5 – 4,5.
3. Kebocoran
Uji kebocoran tidak kami lakukan karena ampul tidak ditutup.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
• Formula injeksi vitamin B1 yang kami buat
R/ Thiamin HCl 75 mg
HCl adjust 2 tts
API ad 2 ml
• Sterilisasi sediaan injeksi vitamin B1 dilakukan secara aseptis, karena vitamin B1 stabil pada suhu pemanasan 98-100oC, sehingga dikhawatirkan masih ada mikroba di dalam sediaan tersebut.
• Sediaan injeksi vitamin B1yang dibuat cukup stabil, karena pH yang didapat sebesar 3,5.
• Sediaan injeksi vitamin B1 yang dihasilkan homogen, karena tidak ada partikel yang melayang.
• Sediaan tidak ditambahkan larutan isotonis berupa larutan NaCl karena sediaan telah hipertonis.
•
B. Saran
Dalam penyusunan praformulasi injeksi kita harus memperhatikan kecocokan antara bahan aktif dan zat-zat tambahan. Serta sifat dari bahan aktif tersebut dapat memberikan petunjuk untuk jenis sterilisasi yang akan digunakan dan perlakuan selama proses pembuatan. Pengecekan pH sebaiknya dilakukan pada saat volume sediaan mendekati jumlah volume yang dibuat. Sebelum memulai praktikum, terlebih dahulu membuat API dan menyiapkan oven dan autoklaf untuk proses sterilisasi agar bisa langsung digunakan, sehingga tidak memakan waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
Sulistiawati, Farida dan Suryani Nelly. 2009. Formulasi Sediaan Steril. Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.
Farmakope Indonesia Edisi ketiga. 1979. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Farmakope Indonesia Edisi keempat. 1995. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Formularium Nasional Edisi Kedua. 1978. Departemen Kesehatan Repiblik Indonesia.
Wade, Ainley and Paul J.Weller. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients, second edition. London : The Pharmaceutical Press
Direction of the Council of The Pharmaceutical Society of Great Britain. 1982. Martindale The Extra Pharmacopoeia Twenty eight Edition. London : The Pharmaceutical Press.
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi empat. Jakarta : Gaya Baru.
Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Anief, Moh. 2005. Farmaseutika. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
LAMPIRAN
ETIKET
Tidak ada komentar:
Posting Komentar